Pages

Thursday, July 16, 2015

Sampai jumpa lagi, sahabat yang tak pernah kuhargai. Semoga kau masih sudi mengunjungiku.

Tiba-tiba, aku tak mengerti lagi untuk apa semua ini.

Pada malam-malam seperti ini aku merasa perih. Pada malam-malam menjelang Hari Rayaku sendiri.
Di benakku, bukan seperti inilah malam Lebaran akan dilewatkan. Bukan kau yang tertidur di sudut kasur, bukan ia yang menatap nyalang pada peti TV, bukan aku yang didera hampa dalam sudut tergelap pikiranku, meratapi absensi makna, mempertanyakan arti esok. 

Tolong, katakan padaku; apakah tiap malam lebaran hanyalah satu di antara beribu malam lainnya, kecuali dengan takbiran yang berkumandang di seluruh pelosok kota sebagai pembeda?

Tuhan, aku selalu merasa pahit luar biasa setiap malam menjelang hari suci. Hampa pada setiap kumandang takbir, hampa pada bayangan esok hari. Lebaran adalah hari di mana kita berulang kali mencari baju baru untuk dipamerkan, di mana aku harus sibuk bertanya pada satu-dua tetangga apakah mereka mau solat Ied bersamaku, agar aku tak sendirian sembari menghindari para tetangga yang bersalam-salaman.
Lalu kami akan bergegas meninggalkan rumah, menuju rumah yang dituakan dalam keluarga besar untuk bersilaturahmi. 

Salam hangat, halo apa kabar, bertukar cerita. Obrolan keluarga. Canda dan tawa. Console permainan elektronik, anak-anak yang semakin dewasa. Orang dewasa yang semakin tua. Kue kering, opor, ketupat. Jam yang terus berdetik. Kesadaran bahwa waktu terus berlalu. Kalian semua harus meneruskan perjalanan. Ucapan perpisahan, sampai ketemu lagi, assalamualaikum, hati-hati di jalan. Mobil pergi. Tutup pagar.

Hampa kembali menyergap.

Lalu kami tak punya siapa-siapa lagi untuk dikunjungi, maka untuk melupakan kekosongan, kami pun turut pamit pulang.

Ah, jangan lupa. Setibanya di rumah nanti, telepon keluarga besar di kampung. Giliranku bicara tak perlu lama-lama, batinku, aku tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.

Segalanya sama. Segala kunjungan dan lainnya itu. Kecuali bagaimana rumah-rumah yang kami kunjungi semakin tahun menjadi semakin sedikit.

Lihatlah... Bagaimana aku bisa lupa perasaan macam apa yang selalu kembali mendera? Segalanya sama, rindu menggedor lagi, hampa menyergap lagi, ini semua repetisi. Bergulir namun diam, diam namun jerit. Dan di antaranya ku belum berhasil menemukan arti.
Ya Tuhanku. Bila satu waktu aku mati, akankah aku mengingat semua ini?

Dan di belakangaku, di belakang hari ini, Ramadhan telah berlalu... Bulan yang mereka bilang suci, di mana aku masih tetap saja memaki. Sekali lagi aku telah membiarkanmu berlalu! Aku bahkan belum pernah menjamumu, dan sekarang kau akan meninggalkanku. Sahabat baik yang dihibahkan padaku oleh Tuhan, yang selalu setia mengunjungiku selama 19 hidupku, tanpa pernah ingkar janji. Sahabat yang tak pernah kuhargai. Yang tak pernah kucintai. Yang selalu kukhianati.

Tapi esok hari yang Fitri. Hari yang kau hantarkan dengan sabar padaku. Aku harap kau sudi memaafkanku, dan, entah bagaimana, sudi mengunjungiku lagi.
Dan bila iya, maka aku akan menantimu. Hingga saat itu, berjanjilah padaku, jika kau pernah kembali, jika kita berjumpa lagi; 

Ajarkan aku bagaimana memaknaimu.

-Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436. Semoga Lebaran kalian sarat makna.-

Friday, July 3, 2015

Opini.

So, after years growing up with my-very-own-messed-up-self, I comprehend that I'm not the type of person who will do things if it is not caused by my own will.

Seriously. How many damn people you think have been yelling their so called "facts" on my ears, coaxing "suggestions" to make me believe that there are no other version of truths that is more righteous than theirs? This topic varies from religion, politics, definition of life with success and happiness, perspective about man and how people say they're all the same, how they define true friendship and how we should keep it, etc etc etc etc.

I mean I just don't know. There are too many things they set up over there and I'm just done listening to them. I'm just done being forced to believe in a thing I am not even given the chance to cogitate. Dan aku muak di-neraka-kan untuk tidak menelan segala yang mereka jejalkan dalam kerongkonganku.

Ujung-ujungnya, beginilah jadinya aku. I tend to refuse and despise everything that sounds to one-sided, segala hal yang terlalu sarat opini, karena jika aku menelan semuanya bulat-bulat dan membiarkan "fakta-fakta" itu membentuk diriku, apa bedanya diriku dengan sepotong tanah liat lunak?

Doesn't mean that I consider everything that other people besides me say are wrong, hell no. But I'm not exactly something they try to make me. I think I'm a little bit like this, I'm a little bit like that, and I'm also a little bit like something nobody else is, which is something original, that comes truly from myself as a being. Influences might be a part of the recipe, but my mainstay ingredient is myself. My truest and sincerest opinion. And in the future, maybe I will find myself having a similar opinion with what somebody told me to believe (which maybe I have despised too quickly) but I would rather be believing in an opinion because my experience forms it, and not because somebody else did. Let it leave me in black and blue, but if that's true, I would still go for that.

You might inspire me, but you will never dictate me.

But in fact, most of daily life situations, I don't object when people talk. I nod and stay silent because really, I don't think it would be very much beneficial to start an argument, unless you're starting to think I'm nothing more than a stupid nodding figure who will agree to everything you say. But it's just not worth the time and the anger I'll feel when I try to spit how terribly different I feel than those they try to make me feel. I'm just so tired of ending up spitting my opinions, dan kemudian, di-neraka-kan.

Nothing dude, I just feel angry. I feel angry and I've never feel me-er than this since a long time. Dan itulah kenapa aku menuliskan post ini. Aku harus kembali teringat sekali-sekali. I am my own person, aku paling aku ketika aku tahu siapa diriku, dan inilah aku. Mungkin aku diam, mungkin aku bungkam, tapi aku punya opini. Aku punya segudang opini. Dan aku tidak bodoh hanya karena kau tak pernah mendengarnya.

Lalu? Hanya karena lisanku membisu, apa itu artinya otakku pun harus bungkam? Apa itu artinya, pemikiran tak boleh lagi berkelana, dan opini harus dikebiri? Apa itu artinya, aku tak boleh merumuskan pendapatku sendiri?

Jika ternyata memang itu hukumnya, maka aku berontak.


Sunday, March 29, 2015

Satu. Untuk nomor Satu.

Dari dulu, aku tahu "cinta" itu gila. Sesuatu yang bikin setiap orang jadi hidup atau mati. Bikin dunia jadi ramai atau bisu. Bikin bunga jadi tumbuh atau layu. Tapi sekarang rasanya, ada suatu pemahaman baru yang bikin aku tergeragap.

Ada hal-hal yang bikin kita lupa nikmat tidur, hal-hal yang bikin matamu nyalang, entah dalam keadaan kering atau basah. Ada kata-kata yang terasa menyambar, merenggut seluruh napas dan perhatian, seperti anak panah yang menghunjam jantung, dan ketika anak panah itu ditarik lepas, darah mengucur dengan derasnya, hingga kemudian kamu pun lemas dan mati. Tapi ada lagi kata-kata yang datang dengan cara yang lebih sederhana, lebih lembut, cantik dalam sunyinya, menyelusup pelan ke dalam rongga tubuh dan jiwamu, mendekam di sana, dan perlahan-lahan--namun pasti--menjadi napasmu sendiri.

Seperti ada yang memuai di dalam tubuhku; sesuatu yang hangat, kembang kempis seperti nebula. Berpendar samar, menghangatkan jiwa dan raga. Seperti niat, namun lebih kuat. Seperti nektar, namun lebih manis. Nebula itu berkembang pelan di dalam tubuhku, hingga pada akhirnya mengisi seluruh relung. Sinar sejati, bukan pantulan dari benda lain. Sesuatu yang abstrak, namun lebih konkret dari apapun yang pernah kusentuh.

Jantungku tidak berpacu seperti habis berlari, tapi ada yang hidup di dalam sini. Ada yang tumbuh, ada yang menghidupi. Dan aku paham; aku tidak mau anak panah yang menikam dan menyita seluruh hidup dan matiku, tapi aku mau kamu yang memberiku sebuah Nebula, Sang Mata Air sumber puisi yang membuatku bercucuran air mata.

Dan sumpah, air mata ini tumpukan makna.

Semesta bekerja dengan cara yang paling misterius. Manusia akan selalu bertanya-tanya bagaimana Ia mengatur semua ini, bagaimana kisah-kisah dituliskan, bagaimana kehidupan dimulai, bagaimana semuanya akan berakhir..... Kita mencoba mengartikan bintang-bintang, lalu menerka apa artinya... Bukankah kita semua begitu kecil?

Dan bagiku, Tuhan begitu megah dalam kebesaranNya, dan janji manusia begitu kecil..... Janji manusia hanyalah sesuatu yang bisa manusia ucapkan, namun dibandingkan dengan jalanNya, mereka begitu kecil. Begitu tak berarti, begitu fana.

Maka, tolong, jangan ajak aku berjanji. Aku ingin melakukan sesuatu yang lebih kuat daripada mengucapkan janji manusia, aku ingin melakukan sesuatu yg lebih besar; berdoa. Aku ingin kita berdoa bersama, berdoa agar Tuhan memang menulis cerita kita dengan segala berkah dan cintaNya; sebuah cerita yang nyata, sebuah kisah tanpa epilog.


"Presensi seseorang bisa menjadi eksplanasi atas transformasi sikap seorang manusia; menjadi kuat atau menjadi lemah."

Dan presensimu, buatku, menjadikan aku keduanya sekaligus.


Oleh karena itu, mari berdoa, semoga semesta mengikat temali kita.

Dengan seluruh cinta, doa, dan air mata bahagia,
Aamiin.