Tiba-tiba, aku tak mengerti lagi untuk apa
semua ini.
Pada malam-malam seperti ini aku merasa
perih. Pada malam-malam menjelang Hari Rayaku sendiri.
Di benakku, bukan seperti inilah malam
Lebaran akan dilewatkan. Bukan kau yang tertidur di sudut kasur, bukan ia yang
menatap nyalang pada peti TV, bukan aku yang didera hampa dalam sudut tergelap
pikiranku, meratapi absensi makna, mempertanyakan arti esok.
Tolong, katakan padaku; apakah tiap
malam lebaran hanyalah satu di antara beribu malam lainnya, kecuali dengan
takbiran yang berkumandang di seluruh pelosok kota sebagai pembeda?
Tuhan, aku selalu merasa pahit luar
biasa setiap malam menjelang hari suci. Hampa pada setiap kumandang takbir,
hampa pada bayangan esok hari. Lebaran adalah hari di mana kita berulang
kali mencari baju baru untuk dipamerkan, di mana aku harus sibuk bertanya pada
satu-dua tetangga apakah mereka mau solat Ied bersamaku, agar aku tak sendirian
sembari menghindari para tetangga yang bersalam-salaman.
Lalu kami akan bergegas meninggalkan
rumah, menuju rumah yang dituakan dalam keluarga besar untuk
bersilaturahmi.
Salam hangat, halo apa kabar, bertukar
cerita. Obrolan keluarga. Canda dan tawa. Console permainan elektronik,
anak-anak yang semakin dewasa. Orang dewasa yang semakin tua. Kue kering, opor,
ketupat. Jam yang terus berdetik. Kesadaran bahwa waktu terus berlalu. Kalian
semua harus meneruskan perjalanan. Ucapan perpisahan, sampai ketemu lagi,
assalamualaikum, hati-hati di jalan. Mobil pergi. Tutup pagar.
Hampa kembali menyergap.
Lalu kami tak punya siapa-siapa lagi
untuk dikunjungi, maka untuk melupakan kekosongan, kami pun turut pamit pulang.
Ah, jangan lupa. Setibanya di rumah
nanti, telepon keluarga besar di kampung. Giliranku
bicara tak perlu lama-lama, batinku,
aku tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.
Segalanya sama. Segala kunjungan dan
lainnya itu. Kecuali bagaimana rumah-rumah yang kami kunjungi semakin tahun menjadi
semakin sedikit.
Lihatlah... Bagaimana aku bisa lupa
perasaan macam apa yang selalu kembali mendera? Segalanya sama, rindu menggedor
lagi, hampa menyergap lagi, ini semua repetisi. Bergulir namun diam, diam namun
jerit. Dan di antaranya ku belum berhasil menemukan arti.
Ya Tuhanku. Bila satu waktu aku mati,
akankah aku mengingat semua ini?
Dan di belakangaku, di belakang hari
ini, Ramadhan telah berlalu... Bulan yang mereka bilang suci, di mana aku
masih tetap saja memaki. Sekali lagi aku telah membiarkanmu berlalu! Aku
bahkan belum pernah menjamumu, dan sekarang kau akan meninggalkanku.
Sahabat baik yang dihibahkan padaku oleh Tuhan, yang selalu setia mengunjungiku
selama 19 hidupku, tanpa pernah ingkar janji. Sahabat yang tak pernah kuhargai.
Yang tak pernah kucintai. Yang selalu kukhianati.
Tapi esok hari yang Fitri. Hari yang kau
hantarkan dengan sabar padaku. Aku harap kau sudi memaafkanku, dan, entah
bagaimana, sudi mengunjungiku lagi.
Dan bila iya, maka aku akan menantimu.
Hingga saat itu, berjanjilah padaku, jika kau pernah kembali, jika kita
berjumpa lagi;
Ajarkan aku bagaimana memaknaimu.
-Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436. Semoga Lebaran kalian sarat makna.-